Storynews.id, Konawe – Proses hukum kasus penistaan agama di tawamele terus bergulir, pendampingan hukum dalam proses persidangan di PN unahaa sudah memasuki tahapan pemeriksaan saksi yang didampingi saudara Efrit, SH dan Widya, Dimana Eprit selaku ketua kelompok rumpun di desa tawamelewe dan desa Kasaeda di kecamatan lambuya.
Dalam persidangan ini dipimpin ketua tim kuasa hukum Sabri
Sabri Guntur, SH.,MH.,CTLC.,CMLC. Bersama anggota Khalid Usman, SH.,MH. Marlin, SH.,MH.,CMLC. Alvian, SH. Ruslan Rahman, SH. Muh. Wahyudin N, SH.,MH. Yang berasal dari organisasi PERADI Sultra.
Berdasarkan hasil sidang ditemukan fakta dalam persidangan bahwa dalam materi persidangan tidak ditemukan unsur penistaan agama melainkan perkara sengketa tanah, dimana bukan perkara pidana akan tetapi perkara perdata.
Sabri guntur mengungkapkan ” terkait surat dakwaan jaksa penutut umum pada pasal yang didakwakan terhadap klien kami, itu terkesan Dugaan dikriminalisasi artinya perkara ini sangat dipaksakan” ungkapnya.
“Jadi apa yang didakwakan terhadap klien kami Efrit dan Widya serta yang lainya dimana pasal yang cantumkan tidak ada fakta yang menjukan penistaan agama yang didakwakan jaksa ini,” lanjutnya
Dia menmbahkan jadi yang terjadi disana bukanlah masalah penistaan agama tetapi lebih pada sengketa tanah, ini akan menimbulkan konflik dengan adanya dakwaan atau perkara ini.
“Substansi yang ditarget pihak lokal ini harus dijaga dan dihindari. Jadi harapan pada persidangan kedepannya harus obyektif dalam memutuskan perkara yang berdasarkan fakta-fakta, sehingga kita berharap pada majelis hakim dalam memberikan putusan yang adil dan bijaksana, saya kira ini inti sari dari perkara ini”, sambungnya.
Untuk tambahan perkara yang terjadi di desa tawamelewe ini bukan perkara pidana akan tetapi perkara perdata mengenai sengketa lahan.
Kami berharap, dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum bisa memfasilitasi ulang kedua kelompok masyarakat ini antara masyarakat lokal dengan transmigrasi Bali yang sedang bersengketa.
“Antara lahan masyarakat lokal yang kemudian lahan tersebut dijual belikan oleh oknum-oknum yang bukan pemilik sesungguhnya, yang kemudian tanah tersebut dianggap tanah wilayah transmigrasi warga bali, nah ini yang menjadi dasar pemicu konflik pertama, ini juga yang menjadi dasar dikatakan perkara ini sangat dipaksakan”, tutupnya
Komentar