Oleh: Prans Boy, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Halu Oleo
Istilah “Dunia Ketiga” biasanya dimaksudkan untuk menyebut kelompok negara-negara terbelakang. Istilah ini mulai populer pada tahun 1960-an dan mencakup suatu unsur ketiga dalam struktur kekuatan dunia.
Di zaman sekarang, rencana pembangunan nasional yang pernah dicanangkan oleh negara-negara di Dunia Ketiga sudah mencapai ribuan jumlah program dan upaya pengentasan. Di samping itu, penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mencari teori-teori pembangunan yang tepat sudah berjalan selama lebih dari lima dasawarsa, namun cara-cara pendekatan yang dilakukan terhadap pembangunan ekonomi dan sosial masih tetap tidak realistis.
Sering terjadi bahwa sasaran-sasaran yang diperkirakan akan tercapai ternyata pada akhirnya meleset jauh, dan ini jelas merupakan petunjuk bagi keharusn melakukan penelitian yang lebih mendalam sebelum para perencana pembangunan di Dunia Ketiga berhasil menyusun garis-garis pedoman pembangunan yang lebih efektif.
Upaya menyusun kerangka teoritis dan institusional yang memadai untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang terencana merupakan dan masih menjadi tugas para ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk di dalamnya ahli-ahli ekonomi dan ahli-ahli geografi. Sudah banyak orang yang sependapat, bahwa jalan paling menuju kepada kemajuan ekonomi adalah dengan mengorganisir semua sumber-sumber yang ada dan rencana-rencana pembangunan yang hendak dilaksanakan harus ditujukan pada peningkatan kekuatan-kekuatan produktif negara yang bersangkutan dan pemerolehan modal investasi yang diperlukan.
Untuk maksud ini jelas pemerintah negara-negara yang bersangkutan harus berperan sebgai penguasa administratif pusat dan menentukan jumlah seluruh modal yang diperlukan, menyusun strategi investasi dan memutuskan darimana harus memperoleh dana, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Teori-teori ekonomi mendukung perencanaan pemerintah semacam ini dan karakter rencana-rencana pembangunan yang digunakan telah banyak berubah pada periode setelah PD II.
Modal dan Pemanfaatannya
Terjadi perbedaan pandangan signifikan antara ahli ekonomi dan geografi mengenai pentingnya modal dan sumber-sumber pendapatan nasional, khususnya mengenai sumber daya alam. Para ekonom menganggap bahwa modal sebagai faktor yang paling penting, sedangkan ahli geografi menganggap sumber-sumber alamlah yang paling banyak memainkan peran.
Para ahli geografi pun menuai kritik, atas pandangan bahwa penekanan atas anugerah alam seperti luas dan mutu tanah, endapan biji-biji tambang dan sumber-sumber tenaga. Tetapi tak dapat disangkal, bahwa ketiadaan sumber alam atau pemanfaatan satu sumber alam saja akan mempunyai pengaruh yang amat besar pada karakter dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh nyata, pada pertengahan dasawarsa 1950-an Libya hanyalah wilayah tandus dipenuhi gurun pasir. Saat itu jumlah penduduknya sudha mencapai angka 1,1 juta jiwa, Libya menjadi negara dengan pendapatan perkapita terendah di dunia. Namun setelah ditemukan ladang-ladang minyak, perubahan drastis terjadi. Penghasilan dari minyak bumi telah meningkatkan pendapatan negaranya, dan anggaran belanja meningkat tiap tahunnya meskipun pendapatan perkapita masih di bawha standar dan laju pembangunan masih rendah.
Banyak ahli ekonomi yang berpendapat, bahwa hubungan yang kritis bukanlah antara sumber-sumber dan kekayaan, melainkan antara modal dan output produksi. Mereka mengatakan bahwa GNP secara modal nyata dan output produksi, dan besarnya modal yang digunakan. Ratio modal-output adalah inti dari kebijaksanaan perencana ekonomi.
Sekarang ini, banyak hal yang perlu dilakukan baik untuk memperbaiki ketelitian perkiraan ratio modal-output maupun untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai sifat dari sumber-sumber yang dimiliki negara Dunia Ketiga. Cara pendekatan melalui modal dan melalui sumber-sumber memang belum begitu berhasil dalam menjelaskan dan mempromosikan proses pembangunan tetapi tidak pula dapat dikatakan bahwa kedua cara pendekatan ini sama sekali gagal.
Perekonomian Ganda dan Keseimbangan Regional
Beberapa ahli ekonomi dan perencana pembangunan masih kurang bersimpati kepada pandangan ahli-ahli geografi. Perencanaan yang didisain untuk meningkatkan pembangunan di luar pusat-pusat utama kegiatan yang telah ada dikatakan mengakibatkan turunnya efisiensi pemanfaatan sumber-sumber. Diseluruh dunia ketiga pandangan ini telah menjuruskan kepada terciptanya perekonomian ganda. Satu atau dua daerah pusat pembangunan dikelilingi oleh daerah-daerah yang masih sangat terbelakang. Dualisme yang kuat secara ekonomis mungkin efisien pada tahap-tahap awal pembangunan, tetapi keadan seperti ini menyebabakan banyak penduduk daerah-daerah terbelakang yang ditempatkan diluar perekonomian dagang mereka sendiri. Dalam jangka panjang keadan ini mungkin memaksa pertumbuhan nasional dengan menurangi ukuran pasar konsumen domestik.
Proses terciptanya suatu perekonomian ganda adalah seperti digambarkan oleh G. Myrdal pada tahun 1957. Ia mengemukakan bahwa tahap-tahap awal pembangunan biasanya disertai dengan suatu ‘backwash effeer’. Dalam proses demikian, tenaga kerja, modal, perusahaan,kekuatan monopoli domestik, prasarana sosial dan ekonomi condong ke arah daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan terbesar. Di dunia ketiga daerah-daerah merupakan bagian sangat kecil dari wilayah nasional. Myrdal juga mengidentifikasi suatu ‘spread effeer’ dengan mengukakan bahwa dalam jangka panjang kemampuan daerah-daerah makmur untuk menyediakan barang dan jasa akan dilampaui oleh perluassan pasar domestik. Lagi pula daeerah-daerah ini pada akhirnya akan mengalami kemacetan dan kekurangan tanah dan tenaga kerja yang semakjn mendorong efek penyebaran.
Keseimbangan Struktural
Masalah keseimbangan struktural dapat disejajarkan dengan masalah keseimbangan regional. Sampai sekarang masalah keseimbangan struktual masih banyak diperdebatkan seperti juga masalah keseimbangan regional.
Pihak yang mendukung ‘pertumbuhan yang seimbang’ mengemukakan alasannya, bahwa kemacetan struktual dapat mengurangi pertumbuhan secara keseluruhan.
Untuk mencegah terjadinyna keadaan semacam ini, maka masing-masing sektor perekonomian harus dikembangkan dengan tingkat pertumbuhan yang sama. Tidak banyak artinya membangun sektor industri dengan mengabaikan sektor pertanian, sebab penghasilan tambahan yang akan diperoleh semuanya dihabiskan untuk mengimpor produ-produk pertanian yang selanjutnyna menimbulkan masalah neraca pembayaran serta ketidakleluasaan dalam pertumbuhan.
Pendapat dari pihak pendukung ‘pertumbuhan yang tak seimbang’ lain lagi. Mereka berpendapat bahwa sebuah negara berkembang akan mengalami pertumbuhan yang baik jika investasinya dipusatkan di sektor-sektor paling cocok bagi pembangunan. Sektor-sektor ini akan dapat ditentukan dengan kombinasi sumber yang tersedia, baik yang telah ada maupun yang masih berupa potensi. Perhatian juga perlu dipusatkan bagi terciptanya perusahaan-perusahaan bergairah yang dihubungkan dengan pemusatan investasi dan keuntungan dari produksi besar-besaran. Oleh sebab itu keadaan tidak seimbang merupakan suatu kondisi efisiensi yang diperlukan walaupun masih belum mencukupi.
Perdebatan ini masih belum berhasil memberi jalan keluar yang sebaik-baiknya, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini tampaknya para perencana pembangunan di negara-negara berkembang mencoba menghindari sikap berpihak yang ekstrim kepada salah satu diantaranya dengan cara lebih menekankan integrasi setempat, bukan menekankan keadaan yang benar-benar seimbang atau sebaliknya keadaan yang sama sekali tidak seimbang.
Integrasi lebih dari sekedar penentuan campuran yang tepat antara pertumbuhan yang seimbang dan pertumbuhan yang tidak seimbang. Disini terdapat hubungan-hubungan yang dinamis antar sektor, dan perencanaan yang terintegrasi menghendaki agar hal ini dapat dipahami dan investasi diarahkan sedemikian rupa agar sektor-sektor perekonomian bisa saling mendukung dan memperkuat. Ini mungkin berarti keharusan mengubah sifat dari suatu kegiatan, bukan hanya sekedar mengubah intensitasnya. Beberapa bentuk pertumbuhan ekonomi mungkin akan dapat memperluas lapangan kerja, sedangkan beberapa bentuk lainnya justru akan menyebabkan adanya pengangguran.
Para perencana pembangunan biasanya sangat tertarik untuk menganalisa pertalian-pertalian dan kesalingtergantungan antar sektor-sektor pembangunan. Kebanyakan rencana-rencana pembangunan sekarang ini mencakupkan suatu analisa studi-studi cross-sectional dalam bentuk tabel-tabel input-output. Output dari suatu sektor dapat dibandingkan dengan permintaan-permintaan input dari sektor-sektor lain yang memanfaatkan output tersebut. Selanjutnya keadaan-keadaan tidak seimbang dapat di identifikasi dan digunakan sebagai informasi bagi keputusan-keputusan yang akan diambil untuk memperbaiki keadaannya.
Kemajuan ekonomi jelas sangat tergantung kepada manusianya. Faktor-faktor seperti tingkat penyesuaian masyarakat terhadap pembangunan, sikap-sikap masyarakat terhadap inovasi dan perubahan, dan sikap-sikap elite tradisional terhadap perubahan-perubahan sosial-politik yang biasanya menyertai proses pembangunan, kini semakin diperhitungkan dan memegang peranan dalam perencanaan pembangunan. Salah satu contoh, E.E. Hagen menekankan peranan ‘kreativita teknologis’ dalam proses pembangunan. Perusahaan yang bersifat teknis seringkali tidak dianggap sebagai fungsi dari faktor-faktor investasi, melainkan fungsi dari faktor-fator sosial, bahkan faktor-faktor fisiologis.
Secara praktis ia mengemukakan, bahwa alat-alat paling sederhana seperti sekop tidak akan bisa dimasukkan ke dalam masyarakat berpendapatan rendah dengan efisiensi yang tinggi sebelum taraf hidup mereka meningkat hingga meliputi kemampuan memakai sepatu. Masalah lain yang umum, yakni keinginan sosial politik golongan elite untuk mempertahankan status.
Perwujudan dari keinginan ini sering menghidupkan terus menerus mentalitas feodal di antara rakyat kebanyakan. Untuk melenyapkan keadaan semacam ini banyak negara yang mengambil langkah-langkah radikal dengan melakukan pembaruan agraria yang melibatkan redistribusi tanah dari tuan-tuan tanah kepada petani-petani kecil dan kepada buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Sehingga dari situlah kita dapat menemukan keseimbangan struktural agar lebih enteng membangun ekosistem perekonomian untuk bangsa yang lebih maju. (***)
Komentar